Minggu, 10 Februari 2013

Kisah lustrasi


Kisah pemecah batu

Seorang pemecah batu karang mengeluhkan keberadaan dirinya.
“ah, Tuhan tidak adil. Setiap bekerja aku pasti kepanasan. Betapa enaknya menjadi matahari. Ia tidak perlu bersusah payah seperti aku. Jika Tuhan adil, aku ingin menjadi matahari.”
          Tuhan mengabulkan permintaan pemecah batu. Dalam waktu sekejap ia berubah menjadi matahari. Betapa bangganya dia. Dengan sekuat tenaga, ia menyinarkan cahayanya ke seluruh bumi hingga manusia menjadi kegerahan. Tetapi, tiba-tiba awan hitam menutup sinarnya. Cahaya yang kuat tak mampu menembusnya.
          “Ah, Tuhan tidak adil. Ternyata ada yang lebih kuat dari pada aku. Jika Tuhan adil, aku ingin menjadi awan hitam.”
          Tuhan mengabulkan permintaan matahari. Dalam sekejap, ia berubah menjadi awan hitam. Dengan congkaknya, sang awan berkeliling dunia dan menggelapkan isinya. Di tengah rasa bangganya, tiba-tiba bertiuplah angin dengan sangat kencang hingga awan hitam itu bercerai-berai. Sang awan menjadi marah.
       “Tuhan Engkau sungguh tidak adil. Ternyata angin dapat mengalahkanku. Kalau begitu, jadikan aku sebagai angin.”
          Dalam sekejap awan berubah menjadi angin. Dengan kekuatannya ia bertiup kencang sehingga banyak rumah dan pohon yang roboh. Ia merasa menjadi yang paling hebat hingga akhirnya ia menghantam batu karang. Tetapi, batu karang itu tetap tegak berdiri tidak goyah. Berkali-kali ia menghantam batu karang. Tetapi, jangankan hancur, beranjak sedikit pun tidak. Angin menjadi jengkel.
       “Tuhan jadikan aku batu karang agar aku dapat menahan angin”
          Tuhan sekali lagi mengabulkan permintaannya. Batu karang itu yakin bahwa tidak ada yang dapat mengalahkannya. Sampai suatu hari, ada seorang laki-laki tua dengan telanjang dada membawa alat pemecah batu. Sedikit demi sedikit, laki-laki itu memecah batu karang hingga menjadi batu-batu kecil. Batu karang menjadi sadar bahwa ia harus kembali menjadi pemecah batu karang.
Tuhan member pelajaran kepada orang yang tidak pernah puas dan senang membandingkan dirinya dengan orang lain. (NN)

Manusia memang tidak pernah merasa puas sehingga sering kali melihat orang lain lebih baik dari pada dirinya sendiri. Kita harus mengucap syukur dan menerima diri kita apa adanya. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar